Sabtu, 05 Mei 2012

Kebudayaan Daerah Bisa Menjadi Unsur Kebudayaan Nasional

Kebudayaan Daerah Bisa Menjadi Unsur Kebudayaan Nasional

Apa yang Anda pikirkan tentang salah satu kebudayaan nasional kebanggaan rakyat Indonesia ini? Tanggal 2 Oktober telah ditetapkan sebagai Hari Batik Nasional bagi Indonesia.
Penetapan itu tentu saja dilakukan sebagai upaya pemerintah untukmelestarikan aset budaya kita yang kerap dirampas negara jiran.

Bicara soal kebudayaan nasional, kebudayaan nasional merupakan kumpulan dari kebudayaan daerah itu sendiri. Penyatuan dari unsur-unsur budaya daerah tercermin menjadi satu kesatuan budaya nasional yang utuh. Jadi dapat dikatakan, budaya nasional adalah cerminan dari budaya daerah-daerah yang beragam.

Indonesia sangat kaya dengan aneka macam kebudayaan daerah, dari Sabang sampai Merauke. Mulai dari bahasa, pakaian adat, budaya dan tradisi, budaya tari-tarian, aneka seni rupa, dan lain sebagainya. Semua itu terkombinasi menjadi bagian yang sangat unik dari kebudayaan nasional itu sendiri.

Demikian juga batik. Siapa bilang budaya batik hanya identik dengan unsur Jawa? Budaya batik adalah bagian dari kebudayaan daerah di masing-masing daerah. Batik ada di setiap provinsi di Indonesia. Pendek kata, budaya batik adalah bagian dari budaya daerah yang kemudian dapat merepresentasikan kebudayaan nasional bangsa Indonesia.

Melestarikan Kebudayaan Daerah
Indonesia dengan letak geografis sebagai negara kepulauan memiliki aneka ragam adat dan budaya daerah yang tersebar merata di seluruh tanah air. Bentuk geografis kepulauan ini di satu sisi juga perlu diwaspadai oleh para generasi muda akan pelestarian aneka ragam budayanya. Bukan hal baru lagi bahwa telah sangat banyak budaya-budaya yang kita miliki perlahan-lahan diakui secara sepihak oleh negara tetangga.

Dan kita sebagai rakyat Indonesia yang terkenal dengan sikap ramah tamah dan sopan santun, ternyata hanya bisa mengelus dada. Lagi-lagi kita tak dapat berkutik. Bahkan ketika pulau kita akhirnya jatuh kenegara tetangga, kita pun tak dapat berbuat banyak.

Ada beberapa hal konkrit yang dapat kita lakukan untuk mengantisipasi pencurian kebudayaan daerah Indonesia oleh negara tetangga, diantaranya:

1. Mengenali dan bangga akan budaya daerah
Penyakit masyarakat kita terkadang tidak bangga dengan produk dan budaya sendiri. Kita lebih bangga dengan budaya-budaya impor yang sebenarnya tidak sesuai dengan budaya kita sebagai orang Timur. Anak-anak kita bahkan terkadang tidak lagi mengenal aneka ragam budayanya.
Budaya daerah banyak yang hilang dikikis zaman oleh sebab kita sendiri yang tidak mau mempelajari dan melestarikannya. Alhasil kita baru bersuara ketika negara lain sukses dan terkenal dengan budaya yang mereka curi secara diam-diam dari kita.
Sebagai contoh; Anak-anak kecil zaman sekarang saat ditanya soal mainan, tentu mereka lebih memilih dunia playstation ketimbang mainantradisional.

2. Kebijakan pemerintah
Bagaimanapun pemerintah memiliki peran yang cukup strategis dalam upaya pelestarian kebudayaan daerah di tanah air. Pemerintah harus mengimplementasikan kebijakan-kebijakan yang mengarah pada upaya pelestarian kebudayaan nasional.
Salah satu kebijakan pemerintah yang pantas didukung adalah penampilan kebudayaan-kebudayaan daerah di setiap even-even akbar nasional. Misalnya tari-tarian, lagu daerah, dan sebagainya.
Semua itu harus dilakukan sebagai upaya pengenalan kepada generasi muda, bahwa budaya yang ditampilkan itu adalah warisan dari leluhurnya. Bukan berasal dari negara tetangga.
Demikian juga upaya-upaya melalui jalur formal pendidikan. Masyarakat harus memahami dan mengetahui berbagai kebudayaan daerah yang kita miliki. Pemerintah juga dapat lebih memusatkan perhatian pada pendidikan muatan lokal kebudayaan daerah.

Kaitan Kebudayaan Daerah dan Kebudayaan Nasional

Kaitan Kebudayaan Daerah dan Kebudayaan Nasional

Kebudayaan daerah diartikan sebagai kebudayaan yang khas yang terdapat pada wilayah tersebut. Kebudayaan daerah di Indonesia di Indonesia sangatlah beragam. Menurut Koentjaraningrat kebudayaan daerah sama dengan konsep suku bangsa. Suatu kebudayaan tidak terlepas dari pola kegiatan masyarakat. Keragaman budaya daerah bergantung pada faktor geografis. Semakin besar wilayahnya, maka makin komplek perbedaan kebudayaan satu dengan yang lain. Jika kita melihat dari ujung pulau Sumatera sampai ke pulau Irian tercatat sekitar 300 suku bangsa dengan bahasa, adat-istiadat, dan agama yang berbeda.

Konsep Suku Bangsa / Kebudayaan Daerah. Tiap kebudayaan yang hidup dalam suatu masyarakat yang dapat berwujud sebagai komunitas desa, sebagai kota, sebagai kelompok kekerabatan, atau kelompok adat yang lain, bisa menampilkan suatu corak khas yang terutama terlihat orang luar yang bukan warga masyarakat bersangkutan. Sebaliknya, terhadap kebudayaan tetangganya, ia dapat melihat corak khasnya, terutama unsur-unsur yang berbeda menyolok dengan kebudayaannya sendiri. Pola khas tersebut berupa wujud sistem sosial dan sistem kebendaan. Pola khas dari suatu kebudayaan bisa tampil karena kebudayaan itu menghasilkan suatu unsur yang kecil berupa berupa suatu unsur kebudayaan fisik dengan bentuk yang khusus yang tidak terdapat pada kebudayaan lain.


Indonesia memiliki banyak suku bangsa dengan perbedaan-perbedaan kebudayaan, yang tercermin pada pola dan gaya hidup masing-masing. MenurutClifford Geertz, di Indonesia terdapat 300 suku bangsa dan menggunakan kurang lebih 250 bahasa daerah. Akan tetapi apabila ditelusuri, maka sesungguhnya berasal dari rumpun bahasa Melayu Austronesia. Kriteria yang menentukan batas-batas dari masyarakat suku bangsa yang menjadi pokok dan lokasi nyata suatu uraian tentang kebudayaan daerah atau suku bangsa (etnografi) adalah sebagai berikut:

· Kesatuan masyarakat yang dibatasi oleh satu desa atau lebih.
· Kesatuan masyarakat yang batasnya ditentukan oleh identitas penduduk sendiri
· Kesatuan masyarakat yang ditentukan oleh wilayah geografis (wilayah secara fisik)
· Kesatuan masyarakat yang ditentukan oleh kesatuan ekologis.
· Kesatuan masyarakat dengan penduduk yang mempunyai pengalaman sejarah yang sama.
· Kesatuan penduduk yang interaksi di antara mereka sangat dalam.
· Kesatuan masyarakat dengan sistem sosial yang seragam.

Perbedaan-perbedaan ini menimbulkan berbagai kebudayaan daerah yang berlainan, terutama yang berkaitan dengan pola kegiatan ekonomi mereka dan perwujudan kebudayaan yang dihasilkan untuk mendukung kegiatan ekonomi tersebut (cultural activities), misalnya nelayan, pertanian, perdagangan, dan lain-lain. Pulau yang terdiri dari daerah pegunungan dan daerah dataran rendah yang dipisahkan oleh laut dan selat, akan menyebabkan terisolasinya masyarakat yang ada pada wilayah tersebut. Akhirnya mereka akan mengembangkan corak kebudayaan yang khas dan cocok dengan lingkungan geografis setempat.

Dari pola kegiatan ekonomi kebudayaan daerah dikelompokan beberapa macam.
· Kebudayaan Pemburu dan Peramu
Kelompok kebudayaan pemburu dan peramu ini pada masa sekarang hampir tidak ada. Kelompok ini sekarang tinggal di daerah-daerah terpencil saja.

· Kebudayaan Peternak
Kelompok kebudayaan peternak/kebudayaan berpindah-pindah banyak dijumpai di daerah padang rumput.

· Kebudayaan Peladang
Kelompok kebudayaan peladang ini hidup di daerah hutan rimba. Mereka menebang pohon-pohon, membakar ranting, daun-daun dan dahan yang ditebang. Setelah bersih lalu ditanami berbagai macam tanaman pangan. Setelah dua atua tiga kali ditanami, kemudian ditinggalkan untuk membuka ladang baru di daerah lain.

· Kebudayaan Nelayan
Kelompok kebudayaan nelayan ini hidup di sepanjang pantai. Desa-desa nelayan umumnya terdapat di daerah muara sungai atau teluk. Kebudayaan nelayan ditandai kemampuan teknologi pembuatan kapal, pengetahuan cara-cara berlayar di laut, pembagian kerja nelayan laut.

· Kebudayaan Petani Pedesaan
Kelompok kebudayaan petani pedesaan ini menduduki bagian terbesar di dunia. Masyarakat petani ini merupakan kesatuan ekonomi, sosial budaya dan administratif yang besar. Sikap hidup gotong royong mewarnai kebudayaan petani pedesaan.
Erat hubungan antara kebudayaan dengan masyarakat dinyatakan dalam kalimat, “masyarakat adalah orang-orang yang hidup bersama dan menghasilkan kebudayaan, sehingga tidak ada masyarakat yang tidak menghasilkan kebudayaan. Sebaliknya tidak ada kebudayaan tanpa masyarakat sebagai wadah dan pendukungnya”. Dalam pengertian kebudayaan daerah sangatlah sulit, karena mencakup lingkup waktu dan lingkup daerah geografisnya. Dalam lingkup waktu dan daerah diartikan sebagai kebudayaan yang belum dapat pengaruh asing dari manapun, baik Hindu-Budha, Islam dan Barat. Kebudayaan asli Indonesia menurut Van Leurada 10 macam kebudayaan asli:

· Kemampuan Berlayar
Menurut teori pada umumnya, bangsa Indonesia berasal dari Vietnam sebagai daerah kedua, sebelumnya dari tiongkok selatan penyebarannya tentulah mepergunakan tata pelayaran. Daerah yang dijelajahinya sampai pada Madagaskar. Sangat mungkin untuk jarak dekat dilakukan dengan menggunakan rakit sederhana, sedangkan jarak jauh menggunakan perahu yang bercadik. Cadik (outriggers) dibuat dari kayu (bamboo) dipasang kiri kanan perahu, fungsinya mengurangi olengan di laut, inilah salah satu ciri budaya orang-orang yang berbahasa Austronesia.

· Kepandaian Bersawah
Budaya bersawah telah dikenal sejak zaman neolitikom. Kemudian di perbaharui dengan kebudayaan perungu, sehingga pengolahan sawah lebih intesif.

· Astronomi
Pengetahuan perbintangan (astronomi) secara sederhana telah dikenal dalam hubungannya untuk pelayaran demi mengenal arah,atau pun untuk pertanian. Untuk pelayaran dipergunakan Gubug Penceng (Zuider Kruis) guna tahu arah selatan, sedangkan untuk pertanian di kenalBintang Waluku (Grote Beer) yang bila sudah tampak waktu tertentu berarti dimulaiinya melakukan cocok tanam di sawah.

· Mengatur Masyarakat
Adanya pimpinan terpilih dari masyarakat (primus inter pares). Orang mempunyai kemampuan paling baik diantara masyarakat yang ada.

· Sistem Macapat
Macapat berarti cara yang didasarkan pada jumlah empat dalam pengaturan masyarakat. Pemimpin berada ditengah antara Barat, Timur, Selatan, dan Utara. Pada masa sekarang dikonsepkan sebagai alun-alun yang terdapat semua daearah.

· Wayang
Wayang pada mulanya merupakan sarana untuk upacara kepercayaan. Nenek moyang yang telah meninggal dibuatkan arca perwujudan. Boneka perwujudan dimainkan dengan iringan cerita dan nasehat.

· Gamelan
Gamelan merupakan perlengkapan peralatan dalam upacara adat.

· Batik
Seni batik dibuat pada kain putih dengan mempergunakan canting sebagai alat tulisnya, sehingga diperoleh batik tulis. Kebudayaan batik terdapat pada semua daerah dengan motif berbeda.

· Seni Logam
Kerajinan logam sejalan dengan budaya batik dan budaya gamelan sebagai sarana dua macam sarana tersebut.

Seni Budaya Keagamaan

Seni Budaya Keagamaan

Agama yang paling pesat berkembang dan memiliki penganut terbanyak di daerah Kutai adalah agama Islam. Penganut agama ini terutama adalah suku Kutai dan suku-suku pendatang seperti Banjar, Bugis dan Jawa. Orang-orang Dayak juga ada yang memeluk agama Islam namun jumlahnya tidak terlalu banyak.

Agama Islam mulai dikenal di Kerajaan Kutai Kartanegara pada awal abad ke-16 dan berkembang pada awal abad ke-17, yakni pada masa pemerintahan Sultan Aji Pangeran Sinum Panji Mendapa (sekitar tahun 1635). Hal ini terbukti dengan adanya Undang Undang Dasar Kerajaan yang disebut Panji Selaten dan Kitab Peraturan yang disebut Undang Undang Beraja Nanti yang jelas bersumber kepada hukum Islam. Sejak itulah agama Islam berkembang dengan sangat pesat hingga saat ini.

Agama Kristen menempati kedudukan nomor dua dalam hal banyaknya penganut dan intensifnya penyebaran agama. Mula-mula penyiaran agama ini dilakukan para penginjil dari Jerman dan Swiss. Badan yang mengirimkan perutusan Injil dari Jerman adalah Rheinische Mission Gessellschaft zu Barmen (1863-1925) setelah itu dilanjutkan oleh Evangelische Gessellschaft zu Basel dari Swiss.Kemudian banyak lagi badan-badan Kristen dan Katholik yang melakukan kegiatan-kegiatan penginjilan di wilayah Kutai. Para pengikut agama Kristen dan Katholik sebagian besar adalah dari suku Dayak.

Selain agama yang disebut diatas, sampai saat ini masih ada sebagian penduduk yang menganut kepercayaan asli setempat, mereka terutama adalah kelompok suku Dayak yang masih sedikit mendapat pengaruh dari luar. Kepercayaan asli berpusat pada penyembahan roh-roh lain (animisme) serta percaya pada kekuatan yang tersembunyi dibalik benda-benda alam (dinamisme). Penganut kepercayaan ini memiliki berbagai macam upacara baik yang berhubungan dengan siklus hidup dan kehidupan manusia (kelahiran, kematian, perkawinan, sakit, dsb) dan upacara yang berkaitan dengan siklus pertanian. Dalam menyelenggarakan upacara-upacara ini, masing-masing suku memiliki variasinya sendiri-sendiri.

sumber :
http://www.kutaikartanegara.com

Hubungan Agama dan Budaya


Hubungan Agama dan Budaya:

1. Pengertian Agama

Kata agama berasal dari bahasa Sansekerta dari kata a berarti tidak dan gama berarti kacau. Kedua kata itu jika dihubungkan berarti sesuatu yang tidak kacau. Jadi fungsi agama dalam pengertian ini memelihara integritas dari seorang atau sekelompok orang agar hubungannya dengan Tuhan, sesamanya, dan alam sekitarnya tidak kacau. Karena itu menurut Hinduisme, agama sebagai kata benda berfungsi memelihara integritas dari seseorang atau sekelompok orang agar hubungannya dengan realitas tertinggi, sesama manusia dan alam sekitarnya. Ketidak kacauan itu disebabkan oleh penerapan peraturan agama tentang moralitas,nilai-nilai kehidupan yang perlu dipegang, dimaknai dan diberlakukan.

Pengertian itu jugalah yang terdapat dalam kata religion (bahasa Inggris) yang berasal dari kata religio (bahasa Latin), yang berakar pada kata religare yang berarti mengikat. Dalam pengertian religio termuat peraturan tentang kebaktian bagaimana manusia mengutuhkan hubungannya dengan realitas tertinggi (vertikal) dalam penyembahan dan hubungannya secara horizontal (Sumardi, 1985:71)

Agama itu timbul sebagai jawaban manusia atas penampakan realitas tertinggi secara misterius yang menakutkan tapi sekaligus mempesonakan Dalam pertemuan itu manusia tidak berdiam diri, ia harus atau terdesak secara batiniah untuk merespons.Dalam kaitan ini ada juga yang mengartikan religare dalam arti melihat kembali kebelakang kepada hal-hal yang berkaitan dengan perbuatan tuhan yang harus diresponnya untuk menjadi pedoman dalam hidupnya.

Islam juga mengadopsi kata agama, sebagai terjemahan dari kata Al-Din seperti yang dimaksudkan dalam Al-Qur’an surat 3 : 19 ( Zainul Arifin Abbas, 1984 : 4). Agama Islam disebut Din dan Al-Din, sebagai lembaga Ilahi untuk memimpin manusia untuk mendapatkan keselamatan dunia dan akhirat. Secara fenomenologis, agama Islam dapat dipandang sebagai Corpus syari’at yang diwajibkan oleh Tuhan yang harus dipatuhinya, karena melalui syari’at itu hubungan manusia dengan Allah menjadi utuh. Cara pandang ini membuat agama berkonotasi kata benda sebab agama dipandang sebagai himpunan doktrin.

Komaruddin Hidayat seperti yang dikutip oleh muhammad Wahyuni Nifis (Andito ed, 1998:47) lebih memandang agama sebagai kata kerja, yaitu sebagai sikap keberagamaan atau kesolehan hidup berdasarkan nilai-nilai ke Tuhanan.

Walaupun kedua pandangan itu berbeda sebab ada yang memandang agama sebagai kata benda dan sebagai kata kerja, tapi keduanya sama-sama memandang sebagai suatu sistem keyakinan untuk mendapatkan keselamatan disini dan diseberang sana.

Dengan agama orang mencapai realitas yang tertinggi. Brahman dalam Hinduisme, Bodhisatwa dalam Buddhisme Mahayana, sebagai Yahweh yang diterjemahkan “Tuhan Allah” (Ulangan 6:3) dalam agama Kristen, Allah subhana wata’ala dalam Islam.

Sijabat telah merumuskan agama sebagai berikut:

“Agama adalah keprihatinan maha luhur dari manusia yang terungkap selaku jawabannya terhadap panggilan dari yang Maha Kuasa dan Maha Kekal. Keprihatinan yang maha luhur itu diungkapkan dalam hidup manusia, pribadi atau kelompok terhadap Tuhan, terhadap manusia dan terhadap alam semesta raya serta isinya” ( Sumardi, 1985:75)

Uraian Sijabat ini menekankan agama sebagai hasil refleksi manusia terhadap panggilan yang Maha Kuasa dan Maha Kekal. Hasilnya diungkap dalam hidup manusia yang terwujud dalam hubungannya dengan realitas tertinggi, alam semesta raya dengan segala isinya. Pandangan itu mengatakan bahwa agama adalah suatu gerakan dari atas atau wahyu yang ditanggapi oleh manusia yang berada dibawah.



2. Agama dan Budaya

Budaya menurut Koentjaraningrat (1987:180) adalah keseluruhan sistem, gagasan, tindakan dan hasil kerja manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik manusia dengan belajar.

Jadi budaya diperoleh melalui belajar. Tindakan-tindakan yang dipelajari antara lain cara makan, minum, berpakaian, berbicara, bertani, bertukang, berrelasi dalam masyarakat adalah budaya. Tapi kebudayaan tidak saja terdapat dalam soal teknis tapi dalam gagasan yang terdapat dalam fikiran yang kemudian terwujud dalam seni, tatanan masyarakat, ethos kerja dan pandangan hidup. Yojachem Wach berkata tentang pengaruh agama terhadap budaya manusia yang immaterial bahwa mitologis hubungan kolektif tergantung pada pemikiran terhadap Tuhan. Interaksi sosial dan keagamaan berpola kepada bagaimana mereka memikirkan Tuhan, menghayati dan membayangkan Tuhan (Wach, 1998:187).

Lebih tegas dikatakan Geertz (1992:13), bahwa wahyu membentuk suatu struktur psikologis dalam benak manusia yang membentuk pandangan hidupnya, yang menjadi sarana individu atau kelompok individu yang mengarahkan tingkah laku mereka. Tetapi juga wahyu bukan saja menghasilkan budaya immaterial, tetapi juga dalam bentuk seni suara, ukiran, bangunan.

Dapatlah disimpulkan bahwa budaya yang digerakkan agama timbul dari proses interaksi manusia dengan kitab yang diyakini sebagai hasil daya kreatif pemeluk suatu agama tapi dikondisikan oleh konteks hidup pelakunya, yaitu faktor geografis, budaya dan beberapa kondisi yang objektif.

Faktor kondisi yang objektif menyebabkan terjadinya budaya agama yang berbeda-beda walaupun agama yang mengilhaminya adalah sama. Oleh karena itu agama Kristen yang tumbuh di Sumatera Utara di Tanah Batak dengan yang di Maluku tidak begitu sama sebab masing-masing mempunyai cara-cara pengungkapannya yang berbeda-beda. Ada juga nuansa yang membedakan Islam yang tumbuh dalam masyarakat dimana pengaruh Hinduisme adalah kuatdengan yang tidak. Demikian juga ada perbedaan antara Hinduisme di Bali dengan Hinduisme di India, Buddhisme di Thailan dengan yang ada di Indonesia. Jadi budaya juga mempengaruhi agama. Budaya agama tersebut akan terus tumbuh dan berkembang sejalan dengan perkembangan kesejarahan dalam kondisi objektif dari kehidupan penganutnya (Andito,ed,1998:282).Tapi hal pokok bagi semua agama adalah bahwa agama berfungsi sebagai alat pengatur dan sekaligus membudayakannya dalam arti mengungkapkan apa yang ia percaya dalam bentuk-bentuk budaya yaitu dalam bentuk etis, seni bangunan, struktur masyarakat, adat istiadat dan lain-lain. Jadi ada pluraisme budaya berdasarkan kriteria agama. Hal ini terjadi karena manusia sebagai homoreligiosus merupakan insan yang berbudidaya dan dapat berkreasi dalam kebebasan menciptakan pelbagai objek realitas dan tata nilai baru berdasarkan inspirasi agama.

3. Agama dan budaya Indonesia

Jika kita teliti budaya Indonesia, maka tidak dapat tidak budaya itu terdiri dari 5 lapisan. Lapisan itu diwakili oleh budaya agama pribumi, Hindu, Buddha, Islam dan Kristen (Andito, ed,1998:77-79)

Lapisan pertama adalah agama pribumi yang memiliki ritus-ritus yang berkaitan dengan penyembahan roh nenek moyang yang telah tiada atau lebih setingkat yaitu Dewa-dewa suku seperti sombaon di Tanah Batak, agama Merapu di Sumba, Kaharingan di Kalimantan. Berhubungan dengan ritus agama suku adalah berkaitan dengan para leluhur menyebabkan terdapat solidaritas keluarga yang sangat tinggi. Oleh karena itu maka ritus mereka berkaitan dengan tari-tarian dan seni ukiran, Maka dari agama pribumi bangsa Indonesia mewarisi kesenian dan estetika yang tinggi dan nilai-nilai kekeluargaan yang sangat luhur.

Lapisan kedua dalah Hinduisme, yang telah meninggalkan peradapan yang menekankan pembebasan rohani agar atman bersatu dengan Brahman maka dengan itu ada solidaritas mencari pembebasan bersama dari penindasan sosial untuk menuju kesejahteraan yang utuh. Solidaritas itu diungkapkan dalam kalimat Tat Twam Asi, aku adalah engkau.

Lapisan ketiga adaalah agama Buddha, yang telah mewariskan nilai-nilai yang menjauhi ketamakan dan keserakahan. Bersama dengan itu timbul nilai pengendalian diri dan mawas diridengan menjalani 8 tata jalan keutamaan.

Lapisankeempat adalah agama Islam yang telah menyumbangkan kepekaan terhadap tata tertib kehidupan melalui syari’ah, ketaatan melakukan shalat dalam lima waktu,kepekaan terhadap mana yang baik dan mana yang jahat dan melakukan yang baik dan menjauhi yang jahat (amar makruf nahi munkar) berdampak pada pertumbuhan akhlak yang mulia. Inilah hal-hal yang disumbangkan Islam dalam pembentukan budaya bangsa.

Lapisan kelima adalah agama Kristen, baik Katholik maupun Protestan. Agama ini menekankan nilai kasih dalam hubungan antar manusia. Tuntutan kasih yang dikemukakan melebihi arti kasih dalam kebudayaan sebab kasih ini tidak menuntutbalasan yaitukasih tanpa syarat. Kasih bukan suatu cetusan emosional tapi sebagai tindakan konkrit yaitu memperlakukan sesama seperti diri sendiri. Atas dasar kasih maka gereja-gereja telah mempelopori pendirian Panti Asuhan, rumah sakit, sekolah-sekolah dan pelayanan terhadap orang miskin.

Dipandang dari segi budaya, semua kelompok agama di Indonesia telah mengembangkan budaya agama untuk mensejahterakannya tanpa memandang perbedaan agama, suku dan ras.

Disamping pengembangan budaya immaterial tersebut agama-agama juga telah berhasil mengembangkan budaya material seperti candi-candi dan bihara-bihara di Jawa tengah, sebagai peninggalan budaya Hindu dan Buddha. Budaya Kristen telah mempelopori pendidikan, seni bernyanyi, sedang budaya Islam antara lain telah mewariskan Masjid Agung Demak (1428) di Gelagah Wangi Jawa Tengah. Masjid ini beratap tiga susun yang khas Indonesia, berbeda dengan masjid Arab umumnya yang beratap landai. Atap tiga susun itu menyimbolkan Iman, Islam dan Ihsan. Masjid ini tanpa kubah, benar-benar has Indonesia yang mengutamakan keselarasan dengan alam.Masjid Al-Aqsa Menara Kudus di Banten bermenaar dalam bentuk perpaduan antara Islam dan Hindu. Masjid Rao-rao di Batu Sangkar merupakan perpaduan berbagai corak kesenian dengan hiasan-hiasan mendekati gaya India sedang atapnya dibuat dengan motif rumah Minangkabau (Philipus Tule 1994:159).

Kenyataan adanya legacy tersebut membuktikan bahwa agama-agama di Indonesia telah membuat manusia makin berbudaya sedang budaya adalah usaha manusia untuk menjadi manusia.



4. Agama-agama sebagai aset bangsa

Dari segi budaya, agama-agama di Indonesia adalah aset bangsa, sebab agama-agama itu telah memberikan sesuatu bagi kita sebagai warisan yang perlu dipelihara. Kalau pada waktu zaman lampau agama-agama bekerja sendiri-sendiri maka dalam zaman milenium ke 3 ini agama-agama perlu bersama-sama memelihara dan mengembangkan aset bangsa tersebut. Cita-cita ini barulah dapat diwujudkan apabila setiap golongan agama menghargai legacy tersebut Tetapi yang sering terjadi adalah sebaliknya sebab kita tidak sadar tentang nilai aset itu bagi bagi pengembangan budaya Indonesia. Karena ketidak sadaran itu maka kita melecehkan suatu golongan agama sebagai golongan yang tidak pernah berbuat apa-apa. Kalaupun besar nilainya, tapi karena hasil-hasil itu bukan dari golonganku, maka kita merasa tidak perlu mensyukurinya. Lebih buruk lagi, jika ada yang berpenderian apa yang diluar kita adalah jahat dan patut dicurigai. Persoalan kita, bagaimana kita dapat menghargai monumen-monumen budaya itu sebagai milik bangsa, untuk itu kita perlu:

1. Mengembangkan religius literacy.

Tujuannya agar dalam kehidupan pluralisme keagamaan perlu dikembangkan religious literacy, yaitu sikap terbuka terhadap agama lain yaitu dengan jalan melek agama. Pengembangan religious literacy sama dengan pemberantasan buta huruf dalam pendidikan. Kitaakui bahwa selama ini penganut agama buta huruf terhadap agama diluar yang dianutnya. Jadi perlu diadakan upaya pemberantasan buta agama, Karena buta terhadap agama lain maka orang sering tertutup dan fanatik tanpa menh\ghiraukan bahwa ada yang baik dari agama lain. Kalau orang melek agama, maka orang dapat memahami ketulusan orang yang beragama dalam penyerahan diri kepada Allah dalam kesungguhan. Sikap melek agama ini membebaskan umat beragama dari sikap tingkah laku curiga antara satu dengan yang lain. Para pengkhotbah dapat berkhotbah dengan kesejukan dan keselarasan tanpa bertendensi menyerang dan menjelekkan agama lain. (Budi Purnomo, 2003).

2. Mengembangkan legacy spiritual dari agama-agama.

Telah kita ungkapkan sebelumnya tentang legacy spiritual dari setiap agama di Indonesia. Legacy itu dapat menjadi wacana bersama menghadapi krisis-krisis Indonesia yang multi dimensi ini. Masalah yang kita hadapi yang paling berat adalah masalah korupsi, supremasi hukum dan keadilan sosial. Berdasarkan legacy yang tersebut sebelumnya, bahwa setiap agama mempunyai modal dasar dalam menghadapi masal-masalah tersebut, tetapi belum pernah ada suatu wacana bersama-sama untuk melahirkan suatu pendapat bersama yang bersifat operasional.

Agaknya setiap kelompok agama di Indonesia sudah waktunya bersama-sama membicarakan masalah-masalah bangsa dan penanggulangannya.


Menggelitik Adat Istiadat dan Nilai Budaya Sosial dalam Pembangunan Masyarakat dan Desa


Menggelitik Adat Istiadat dan Nilai Budaya Sosial dalam Pembangunan Masyarakat dan Desa

Ada satu pertanyaan menggelitik muncul ketika berbagai program pembangunan desa marak diluncurkan yaitu “Apakah budaya masyarakat merupakan faktor penting yang diperhatikan bagi input kebijakan dalam menyusun program pembanguna desa?”. Ketika suatu kebijakan pembangunan desa mengemukakan penghargan terhadap nilai-nilai budaya yang ditemui sangat beraneka ragam di negeri kepulauan Nusantara ini, berartimengindikasikan suatu penghormatan terhadap nilai budaya sebagai suatu hak individu dan hak azasi masyarakat.

Di era pasca reformasi indikasi terhadap nilai budaya ini, sebenarnya sudah tampak mengemuka ketika Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa diterbitkan sebagai penjabaran lebih lanjut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Desa atau yang disebut dengan nama lain dinyatakan sebagai kesatuan masyarakat hukum dengan batas wilayah yang didalamnya memiliki wewenang mengatur dan mengurus kepentingan warganya berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat. Hal ini diakui dan dihormati dalam sIstem Pemerintahan NKRI.

Betapa tidak, jika ditelusuri jejak sejarah desa, pada tahun 1817 seorang warga Negara Belanda yang menjabat sebagai Pembantu Gubernur Jenderal Inggris bernama Mr. Mutinghe, menemukan adanya pemukiman di pesisir pantai Utara Jawa. Laporan temuan ini melandasi dikeluarkannya Indlansche Gemeente-Ordonantie (IGO) dan Indlansche Gemeentie-Ordonantie Buitengeustatesten (IGOB) oleh pemerintah kolonial Belanda masing-masing untuk daerah Jawa dan luar Jawa. Ini merupakan bentuk pengakuan penghargaan terhadap hak otonomi asli desa. Demikian juga pada masa pendudukan Jepang, pengaturan tentang desa termasuk di dalamnya hokum adat tidak diganggu gugat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan penjajah tentunya.

Adat istiadat atau hukum adat sebenarnya masih sangat kental mewarnai kehidupan masyarakat desa. Bahkan masyarakat atau komunitas tertentu di kota-kotapun banyak yang masih membawa kebiasaan dan menerapkan adat istiadat dari desa atau kampung halaman mereka masing-masing. Sampai di kota atau daerah perantauan ikatan kekerabatan dalam budaya yang dimiliki masih dipertahankan. Ambil saja contoh perkumpulan masyarakat Minang, Tapanuli, Maluku yang tersebar di berbagai kota. Apalagi di daerah asal mereka tentunya ikatan kekerabatan dan adat istiadat ini lebih kental lagi. Asumsinya, banyak hal dalam kehidupan masyarakat dengan karakteristik seperti ini, termasuk dalam hal membangun desa seharusnya bisa menciptakan dukungan positif dan kondusif untuk mencapai tingkat kesejahteraan masyarakatnya.

Namun, jika kita simak pergumulan pemerintah dalam upaya meningkatkan kesejahteraan sekelompok masyarakat yang mendapat “Lebelling” alias predikat miskin selama decade belakangan ini, serasa sebagai suatu “never ending business”. Seluruh potensi nampaknya telah dikerahkan, namun penurunannya merambat perlahan serasa bergeming. Bahkan sinisme yang terlontar untuk perjuangan melawan kemiskinan ini bagaikan “Jauh Panggang dari Api”: Apa pasalnya? Apakah kebiasaan, adat istiadat, nilai-nilai budaya yang pekat mewarnai kehidupan dan interaksi social masyarakat desa memang benar-benar tidak mampu menjembatani jurang dalam antara si miskin dan si kaya di desa sehingga desa semakin tidak nyaman untuk ditinggali yang mengakibatkan orang desa berbondon-bondong hijrah ke kota ? atau jangan-jangan implementasi kebijakan yang sudah tegas meletakkan dasar keberpihakan pada masyarakat dan desa tergiring kearah yang keluar dari arah sasaran?

Mari kita lihat payung hukum lewat Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2007 tentang Pedoman Pelatihan dan Pengembangan Adat Istiadat dan Nilai-Nilai Sosial Budaya Masyarakat. Upaya pelestarian dan pengembangan dimaksudkan untuk memperkokoh jati diri individu dan masyarakat dalam mendukung kelancaran penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Tujuannya mendukung pengembangan budaya nasional dalam mencapai kualitas ketahanan nasional dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Bagi institusi pemberdayaan masyarakat seperti Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (Ditjen PMD) ada dua aspek pokok penting yang menjadi titik perhatian. Yang pertama, dalam rangka mencapai tujuan prioritas sebagai bagian dari rencana strategis sampai tahun 2014 mendatang adat istiadat dan nilai social budaya masyarakat harus menjadi “obat kuat” yang memperkokoh jati diri individu dan masyarakat untuk mendukung kelancaran pemerintahan dan pembangunan. Yang kedua, dalam rangka mencapai peningkatan kualitas ketahanan nasional dan keutuhan NKRI, mau tidak mau pelestarian dan pengembangan adat istiadat dan nilai-nilai social budaya harus dilakukan.

Masalahnya sekarang, bagaimana memastikan dan apa cirinya kalau suatu pembangunan desa memiliki konsep, program dan strategi pelaksanaan berdasarkan adat isitiadat dan nilai-nilai social budaya? Semisal Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM), prosesnya sarat dengan forum musyawarah. Soal bermusyawarah kalau dilihat dari perspektif budaya atau adat istiadat sudah melekat pada proses interaksi social yang ada dalam komunitas desa. Namun musyawarah yang dikenalkan nampaknya melalui prosedur atau tahapan yang selain diperkenalkan dengan istilah-istilah baru yang bernuansa modern juga melalui tahapan yang cukup panjang. Kalau saja dapat memakai aturan adat istiadat atau kebiasaan yang berlaku di masyarakat mungkin istilah “selesaikan secara adat” bisa lebih efektif dan efisien dan bahkan juga ekonomis. Yah, bagaimana kita tahu kalau tidak ada keberanian untuk mencobanya?

Perkembangan Sosial Dan Kebudayaan Indonesia


Perkembangan Sosial Dan Kebudayaan Indonesia


Setiap kehidupan di dunia ini tergantung pada kemampuan beradaptasi terhadap lingkungannya dalam arti luas. Akan tetapi berbeda dengan kehidupan lainnya, manusia membina hubungan dengan lingkungannya secara aktif. Manusia tidak sekedar mengandalkan hidup mereka pada kemurahan lingkungan hidupnya seperti ketika Adam dan Hawa hidup di Taman Firdaus. Dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dengan mengelola lingkungan dan mengolah sumberdaya secara aktif sesuai dengan seleranya. Karena itulah manusia mengembangkan kebiasaan yang melembaga dalam struktur sosial dan kebudayaan mereka. Karena kemampuannya beradaptasi secara aktif itu pula, manusia berhasil menempatkan diri sebagai makhluk yang tertinggi derajatnya di muka bumi dan paling luas persebarannya memenuhi dunia.

Di lain pihak, kemampuan manusia membina hubungan dengan lingkungannya secara aktif itu telah membuka peluang bagi pengembangan berbagai bentuk organisasi dan kebudayaan menuju peradaban. Dinamika sosial itu telah mewujudkan aneka ragam masyarakat dan kebudayaan dunia, baik sebagai perwujudan adaptasi kelompok sosial terhadap lingkungan setempat maupun karena kecepatan perkembangannya.

MASYARAKAT DAN KEBUDAYAAN INDONESIA

Dinamika sosial dan kebudayaan itu, tidak terkecuali melanda masyarakat Indonesia, walaupun luas spektrum dan kecepatannya berbeda-beda. Demikian pula masyarakat dan kebudayaan Indonesia pernah berkembang dengan pesatnya di masa lampau, walaupun perkembangannya dewasa ini agak tertinggal apabila dibandingkan dengan perkembangan di negeri maju lainnya. Betapapun, masyarakat dan kebudayaan Indonesia yang beranekaragam itu tidak pernah mengalami kemandegan sebagai perwujudan tanggapan aktif masyarakat terhadap tantangan yang timbul akibat perubahan lingkungan dalam arti luas maupun pergantian generasi.

Ada sejumlah kekuatan yang mendorong terjadinya perkembangan sosial budaya masyarakat Indonesia. Secara kategorikal ada 2 kekuatan yang mmicu perubahan sosial, Petama, adalah kekuatan dari dalam masyarakat sendiri (internal factor), seperti pergantian generasi dan berbagai penemuan dan rekayasa setempat. Kedua, adalah kekuatan dari luar masyarakat (external factor), seperti pengaruh kontak-kontak antar budaya (culture contact) secara langsung maupun persebaran (unsur) kebudayaan serta perubahan lingkungan hidup yang pada gilirannya dapat memacu perkembangan sosial dan kebudayaan masyarakat yang harus menata kembali kehidupan mereka .

Betapapun cepat atau lambatnya perkembangan sosial budaya yang melanda, dan factor apapun penyebabnya, setiap perubahan yang terjadi akan menimbulkan reaksi pro dan kontra terhadap masyarakat atau bangsa yang bersangkutan. Besar kecilnya reaksi pro dan kontra itu dapat mengancam kemapanan dan bahkan dapat pula menimbulkan disintegrasi sosial terutama dalam masyarakat majemuk dengan multi kultur seperti Indonesia.

PERKEMBANGAN SOSIAL DAN KEBUDAYAAN DEWASA INI

Masyarakat Indonesia dewasa ini sedang mengalami masa pancaroba yang amat dahsyat sebagai akibat tuntutan reformasi secara menyeluruh. Sedang tuntutan reformasi itu berpangkal pada kegiatan pembangunan nasional yang menerapkan teknologi maju untuk mempercepat pelaksanaannya. Di lain pihak, tanpa disadari, penerapan teknologi maju itu menuntut acuan nilai-nilai budaya, norma-norma sosial dan orientasi baru. Tidaklah mengherankan apabila masyarakat Indonesia yang majemuk dengan multi kulturalnya itu seolah-olah mengalami kelimbungan dalam menata kembali tatanan sosial, politik dan kebudayaan dewasa ini.

Penerapan teknologi maju

Penerapan teknologi maju untuk mempercepat pebangunan nasional selama 32 tahun yang lalu telah menuntut pengembangan perangkat nilai budaya, norma sosial disamping ketrampilan dan keahlian tenagakerja dengn sikap mental yang mendukungnya. Penerapan teknologi maju yang mahal biayanya itu memerlukan penanaman modal yang besar (intensive capital investment); Modal yang besar itu harus dikelola secara professional (management) agar dapat mendatangkan keuntungan materi seoptimal mungkin; Karena itu juga memerlukan tenagakerja yang berketrampilan dan professional dengan orientasi senantiasa mengejar keberhasilan (achievement orientation).

Tanpa disadari, kenyataan tersebut, telah memacu perkembangan tatanan sosial di segenap sector kehidupan yang pada gilirannya telah menimbulkan berbagai reaksi pro dan kontra di kalangan masyarakat. Dalam proses perkembangan sosial budaya itu, biasanya hanya mereka yang mempunyai berbagai keunggulan sosial-politik, ekonomi dan teknologi yang akan keluar sebagai pemenang dalam persaingan bebas. Akibatnya mereka yang tidak siap akan tergusur dan semakin terpuruk hidupnya, dan memperlebar serta memperdalam kesenjangan sosial yang pada gilirannya dapat menimbulkan kecemburuan sosial yang memperbesar potensi konflik sosial.dalam masyarakat majemuk dengan multi kulturnya.

Keterbatasan lingkungan (environment scarcity)

Penerapan teknologi maju yang mahal biayanya cenderung bersifat exploitative dan expansif dalam pelaksanaannya. Untuk mengejar keuntungan materi seoptimal mungkin, mesin-mesin berat yang mahal harganya dan beaya perawatannya, mendorong pengusaha untuk menggunakannya secara intensif tanpa mengenal waktu. Pembabatan dhutan secara besar-besaran tanpa mengenal waktu siang dan malam, demikian juga mesin pabrik harus bekerja terus menerus dan mengoah bahan mentah menjadi barang jadi yang siap di lempar ke pasar. Pemenuhan bahan mentah yang diperlukan telah menimbulkan tekanan pada lingkungan yang pada gilirannya mengancam kehidupan penduduk yang dilahirkan, dibesarkan dan mengembangkan kehidupan di lingkungan yang di explotasi secara besar-besaran.

Di samping itu penerapan teknologi maju juga cenderung tidak mengenal batas lingkungan geografik, sosial dan kebudayaan maupun politik. Di mana ada sumber daya alam yang diperlukan untuk memperlancar kegiatan industri yang ditopang dengan peralatan modern, kesana pula mesin-mesin modern didatangkan dan digunakan tanpa memperhatikan kearifan lingkungan (ecological wisdom) penduduk setempat.

Ketimpangan sosial-budaya antar penduduk pedesaan dan perkotaan ini pada gilirannya juga menjadi salah satu pemicu perkembangan norma-norma sosial dan nilai-nilai budaya yang befungsi sebagai pedoman dan kerangka acuan penduduk perdesaan yang harus nmampu memperluas jaringan sosial secara menguntungkan. Apa yang seringkali dilupakan orang adalah lumpuhnya pranata sosial lama sehingga penduduk seolah-olahkehilangan pedoman dalam melakukan kegiatan. Kalaupun pranata sosial itu masih ada, namun tidak berfungsi lagi dalam menata kehidupan pendudduk sehari-hari. Seolah-olah terah terjadi kelumpuhan sosial seperti kasus lumpur panas Sidoarjo, pembalakan liar oleh orang kota, penyitaan kayu tebangan tanpa alas an hokum yang jelas, penguasaan lahan oleh mereka yang tidak berhak.

Kelumpuhan sosial itu telah menimbulkan konflik sosial yang berkepanjangan dan berlanjut dengan pertikaian yang disertai kekerasan ataupun amuk.

PERATURAN DAN PERUNDANG-UNDANGAN

Sejumlah peraturan dan perundang-undangan diterbitkan pemerintah untuk melindungi hak dan kewajiban segenap warganegara, seperti UU Perkawinan monogamous, pengakuan HAM dan pengakuan kesetaraan gender serta pengukuhan “personal, individual ownership” atas kekayaan keluarga mulai berlaku dan mempengaruhi sikap mental penduduk dengan segala akibatnya.

PENDIDIKAN

Kekuatan perubahan yang sangat kuat, akan tetapi tidak disadari oleh kebanyakan orang adalah pendidikan. Walaupun pendidikan di manapun merupakan lembaga ssosial yang terutama berfungsi untuk mempersiapkan anggotanya menjadi warga yang trampil dan bertanggung jawab dengan penanaman dan pengukuhan norma sosial dan nilai-nilai budaya yang berlaku, namun akibat sampingannya adalah membuka cakrawala dan keinginan tahu peserta didik. Oleh karena itulah pendidikan dapat menjadi kekuatan perubahan sosial yang amat besar karena menumbuhkan kreativitas peserta didik untuk mengembangkan pembaharuan (innovation).

Di samping kreativitas inovatif yang membekali peserta didik, keberhasilan pendidikan menghantar seseorang untuk meniti jenjang kerja membuka peluang bagi mobilitas sosial yang bersangkutan. Pada gilirannya mobilitas sosial untuk mempengaruhi pola-pola interaksi sosial atau struktur sosial yang berlaku. Prinsip senioritas tidak terbatas pada usia, melainkan juga senioritas pendidikan dan jabatan yang diberlakukan dalam menata hubungan sosial dalam masyarakat.

Dengan demikian pendidikan sekolah sebagai unsur kekuatan perubahan yang diperkenalkan dari luar, pada gilirannya menjadi kekuatan perubahan dari dalam masyarakat yang amat potensial. Bahkan dalam masyarakat majemuk Indonesia dengan multi kulturnya, pendidikan mempunyai fungsi ganda sebagai sarana integrasi bangsa yang menanamkan saling pengertian dan penghormatan terhadap sesama warganegara tanpa membedakan asal-usul dan latar belakang sosial-budaya, kesukubangsaan, keagamaan, kedaerahan dan rasial. Pendidikan sekolah juga dapat berfungsi sebagai peredam potensi konflik dalam masyarakat majemuk dengan multi kulurnya, apabila diselenggarakan dengan benar dan secara berkesinambungan.

Di samping pendidikan, penegakan hukum diperlukan untuk menjain keadilan sosial dan demokratisasi kehidupan berbangsa dalam era reformasi yang memicu perlembangan sosial-budaya dewasa ini. Kebanyakan orang tidak menyadari dampak sosial reformasi, walaupun mereka dengan lantangnya menuntut penataan kembali kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Sesungguhnya reformasi mengandung muatan perubahan sosial-budaya yang harus diantisipasi dengan kesiapan masyarakat untuk menerima pembaharuan yang seringkali menimbulkan ketidak pastian dalam prosesnya.

Tanpa penegakan hukum secara transparan dan akuntabel, perkembangan sosial-budaya di Indonesia akan menghasilkan bencana sosial yang lebih parah, karena hilangnya kepercayaan masyarakat akan mendorong mereka untuk bertindak sendiri sebagaimana nampak gejala awalnya dewasa ini. Lebih berbahayalagi kalau gerakan sosial itu diwarnai kepercayaan keagamaan, seperti penatian datangnya ratu adil dan gerakan pensucian (purification) yang mengharamkan segala pembaharuan yang dianggap sebagai “biang” kekacauan.

Betapaun masyarakat harus siap menghadapi perubahan sosial budaya yang diniati dan mulai dilaksanakan dengan reformasi yang mengandung makna perkembangan ke arah perbaikan tatanan kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Lingkungan Sosial Budaya


Lingkungan Sosial Budaya

Manusia adalah makhluk hidup yang dapat dilihat dari dua sisi, yaitu sebagai makhluk biologis dan makhluk sosial. Sebagai makhluk biologis, makhluk manusia atau “homosapiens”, sama seperti makhluk hidup lainnya yang mempunyai peran masing-masingdalam menunjang sistem kehidupan. Sebagai makhluk sosial, manusia merupakan bagiandari sistem sosial masyarakat secara berkelompok membentuk budaya.Ada perbedaan mendasar tentang asal mula manusia, kelompok evolusionis pengikutDarwin menyatakan bahwa manusia berasal dari kera yang berevolusi selama ratusanribu tahun, berbeda dengan kelompok yang menyanggah teori evolusi melalui teoripenciptaan, yang menyatakan bahwa manusia itu diciptakan oleh Allah.Pemahaman tentang hidup dan kehidupan, itu tidak mudah. Makin banyak hal yang Andalihat tentang gejala adanya hidup dan kehidupan, makin nampak bahwa hidup itu sesuatuyang rumit. Pada individu dengan organisasi yang kompleks, hidup ditandai denganeksistensi vital, yaitu: dimulai dengan proses metabolisme, kemudian pertumbuhan,perkembangan, reproduksi, dan adaptasi internal, sampai berakhirnya segenap proses itubagi suatu “individu”. Tetapi bagi “individu” lain seperti sel-sel, jaringan, organ-organ,dan sistem organisme yang termasuk dalam alam mikroskopis, batasan hidup adalah tidak jelas atau samar-samar.Kehidupan adalah fenomena atau perwujudan adanya hidup, yang didukung tidak sajaoleh makhluk hidup (biotik), tetapi juga benda mati (abiotik), dan berlangsung dalamdinamikanya seluruh komponen kehidupan itu. Ada perpaduan erat antara yang hidupdengan yang mati dalam kehidupan. Mati adalah bagian dari daur kehidupan yangmemungkinkan terciptanya kehidupan itu secara berlanjut.Makhluk hidup bersel satu adalah makhluk yang pertama berkembang. Jutaan tahunkemudian kehidupan di laut mulai berkembang. Binatang kerang muncul, lalu ikankemudian disusul amphibi. Lambat laun binatang daratan berkembang pula munculreptil, burung dan binatang menyusui. Baru kira-kira 25 juta tahun yang lalu munculmanusia kemudian berkembang berkelompok dalam suku-suku bangsa seperti saat ini,dan hampir di setiap sudut bumi ditempati manusia yang berkembang dengan cepat.


Lingkungan hidup adalah suatu konsep holistik yang berwujud di bumi ini dalam bentuk,susunan, dan fungsi interaktif antara semua pengada baik yang insani (biotik) maupunyang ragawi (abiotik). Keduanya saling mempengaruhi dan menentukan, baik bentuk danperwujudan bumi di mana berlangsungnya kehidupan yaitu biosfir maupun bentuk danperwujudan dari kehidupan itu sendiri, seperti yang disebutkan dalam hipotesa Gaia.Lingkungan hidup yang dimaksud tersebut tidak bisa lepas dari kehidupan manusia, olehkarena itu yang dimaksud dengan lingkungan hidup adalah lingkungan hidup manusia.


sumber :http://www.scribd.com